Masih ingatkah kita kejadian yang menghebohkan bulan November 2009 yang lalu? Pemberian obat massal antifilariasis yang ditujukan untuk memberantas penyakit kaki gajah (filariasis) di Kabupaten Bandung, ternyata berakibat fatal. Dilaporkan sebanyak 8 warga diduga tewas dan lebih dari 200 orang warga dirawat setelah mengkonsumsi obat antifilariasis yang diberikan secara massal oleh pemerintahan setempat dengan jumlah pasien terbanyak berasal dari Kecamatan Majalaya. Menanggapi kasus yang terjadi Ketua Komite Ahli Pengobatan Filariasis (KAPFI) Prof. Dr. dr. Purwantyastuti, M.Sc., Sp.FK mengatakan, obat anti filariasis yang diberikan aman digunakan, apakah benar begitu? Kasus kematian warga setelah mengkonsumsi obat antifilariasis diduga disebabkan oleh 3 hal; pemberian obat massal tanpa didampingi tenaga kesehatan, pemberian obat yang tidak tepat dosis, dan tidak dinformasikan tata cara penggunaan obat yang benar.
Pada saat pemberian obat antifilariasis di Kabupaten Bandung, pemberian obat diberikan oleh kader bukan oleh tenaga medis, yakni farmasis yang memiliki tanggung jawab dalam pemberian obat dan reaksi di dalam tubuh pasien. Alasan Dinas kesehatan yang mengatakan bahwa kader-kader yang bekerja telah diberikan sosialisasi dan agar lebih mudah diterima oleh masyarakat. Meskipun dinas kesehatan provinsi berkelit tim dokter dan perawat tetap berada di puskesmas kecamatan selama tiga hari untuk melakukan pengawasan dalam operasional pengobatan massal kaki gajah. Apabila tenaga medis yang disediakan hanya bekerja di puskesmas, lalu siapa yang mengontrol pemberian obat di lapangan? Walaupun hal ini merupakan pengobatan massal gratis bagi masyarakat tidak seharusnya pelayanan yang diberikan alakadarnya, pengeluaran pemerintah dibiayai oleh masyarakat, maka kewajiban pemerintah untuk memberi pelayan yang terbaik di bidang kesehatan.
Pemberian obat yang tidak tepat dosis menjadi salah satu penyebab terjadinya efek samping yang fatal. Proses pengobatan menggambarkan suatu proses normal atau "fisiologik" dari pengobatan, di mana diperlukan pengetahuan, keahlian sekaligus berbagai pertimbangan profesional dalam setiap tahap sebelum membuat suatu keputusan. Dalam pemberian dosis obat-obatan perlu diperhatikan usia dan berat badan dari si pasien, karena pemberian dosis bagi anak-anak, dewasa dan orangtua di atas 50 tahun berbeda. Hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan tubuh pasien dalam menerima pengobatan. Dalam kasus pengobatan filariasis di Kabupaten Bandung, diberikan tiga jenis obat-obatan, yaitu dietil karbamasin sitrat (DEC), albendazol (obat cacing) dan parasetamol (obat penurun panas). Pemberian dosis antifilariasis yang diberikan sudah sesuai prosedur WHO, yaitu 6 mg/kg berat badan untuk DEC dan 400 mg untuk Albendazole, dikonsumsi 3 kali sehari, penimbangan berat badan warga memang tidak dilakukan, namun pemerintah menggunakan perhitungan berat badan rata-rata per kelompok umur yang dinilai cukup aman. Kesalahan dalam pemberian obat yang tidak sesuai dengan kelompok kemungkinan besar dapat terjadi, melihat obat antifilariasis diberikan bukan oleh tenaga medis yang profesional.
Pemberian informasi mengenai tata cara penggunaan obat kepada pasien merupakan suatu keharusan. Kurangnya pengetahuan pasien mengenai cara mengkonsumsi obat antifilariasis menyebabkan keefektifan obat tidak maksimal atau bahkan menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Dietil karbamasin sitrat sebagai obat filariasis yang sering digunakan merupakan satu-satunya obat filariasis yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini tergolong murah, aman dan tidak ada resistensi obat. Penderita yang mendapatkan terapi obat ini mungkin akan memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara seperti mual, pusing, demam, dan muntah. Paracetamol dan albendazole bertujuan untuk mengurangi efek samping tersebut. Dietil karbamasin tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis (pencegahan penyakit dengan cara kimiawi) karena bersifat quratif (pengobatan) bukan pencegahan, sehingga pasien yang tidak menderita filariasis seharusnya tidak diberikan obat ini. Selain itu, kematian terjadi kemungkinan karena pengobatan dengan obat tersebut menyebabkan cacing mati di dalam tubuh dan bangkai cacing tersebut memicu reaksi alergi tipe I yaitu anafilaksis. Reaksi alergi tipe I sangat berbahaya karena dapat terjadi shock anafilaktif yaitu tekanan darah turun secara tiba-tiba yang menyebabkan kematian, solusinya adalah pemberian obat (antihistamin) antialergi untuk mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan Pengobatan dietil karbamasin sitrat diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikan pada anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau dalam keadaan lemah. Penyebab reaksi muntah dan mual yang lebih besar disebabkan karena warga Bandung banyak yang tidak terbiasa sarapan sehingga mengkonsumsi obat di pagi hari tanpa makan terlebih dahulu. Fakta tersebut membuktikan bahwa tata cara penggunaan obat antifilariasis tidak diberikan secara baik. Hal-hal tersebutlah yang seharusnya diperhatikan dalam pemberian obat filariasis secara masal.
Negara-negara anggota WHO telah sepakat membebaskan dunia dari penyakit kaki gajah tahun 2020 dengan berupaya menerapkan berbagai strategi termasuk pemberian obat secara massal dan Indonesia sendiri sudah menargetkan visi Indonesia sehat 2010. Penggunaan tenaga medis yang profesional dan kredibilitas baik dalam pemberian maupun pengawasan obat massal harus dilakukan dan perlu memperhatikan dosis obat sesuai kelompok berat badan dan umur, selain itu informasi mengenaia penggunaan obat juga harus disosialisasikan kepada masyarakat. Bila hal-hal tersebut diikuti dengan baik, dijamin hal-hal yang tidak diinginkan saat pengobatan massal filariasis tidak terjadi.
Departemen Kesehatan. 2009. Kematian 8 Orang Warga Bandung Bukan Karena Minum Obat Filariasis. Depkes.go.id /kematian-8-orang-warga-bandung- bukan.html. (5 Februari 2009, 14.23).
Gandahusada, Srisasi. Parasitologi Kedokteran. Vol. 3. Jakarta: Gaya Baru, 1998.
Purwasari. 2009. Hati-hati Filariasis. www.purwasari.wordpress/dietilkarbamasin%20%C2%AB%20semanis% 20cokelat..%20sepahit%20kopi.htm . (4 Februari 2009, 17.23).
Rachmad, Eddy. 2009. Kaki Gajah, Dietilkarbamasin dan Kematian. waspadamedan.com. (4 Februari 2009, 17.07).
Saunders,W.B. Dorland’s Pocket Medical Dictionary. Vol.25. Philadelphia: Saunders Company, 1995.
Soreang. 2009. Polisi Hentikan Pengusutan Kasus Filariasis. www.pikiranrakyat.com. (5 Februari 2009, 14.19)
Syamsudin, Suhatsjah, dkk. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Vol.44. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan, 2009.
Ullych. 2009. Mengenal Penyakit Kaki Gajah, Antara Kasus dan Penjelasan. Media Indonesia.com/ mengenal-penyakit-kaki-gajah-antara.html. (4 Februari 2009, 17.56)
nice post tik, hehehe cuman korelasi judul sama isi agak timpang :)
BalasHapuskurang menitikberatkan pada filariasis di indonesianya hehehehehe... sama alurnya biar lebih digestable sama orang awam,
setau gw sih kalo ngitung dosis yang bener kan pake luas permukaan tubuh, hehehe, bener ngga? lupa2 inget
gw baru tau kalo bangkai cacingnya bisa nyebabin anaphylaxis.. heuuu bagus2 tik
overall informatif :) dr tugas ya?
keep writing tik
Iya, ini dari tugas KSM (kelompok studi mahasiswa), essay farmasi yang pertama kali gw bikin.
BalasHapusBetul gw kurang masukin data jumlah penderita filariasis di Indonesia. Dosis kan bisa dihitung sesuai umur, berat badan dan luas permukaan tinggal diplih aja yang mana, kalau yang luas permukaan biasanya kasusnya untuk orang yang obesitas atau kekurusan (Rosmala Dewi, 2009)hehehe...thanks ya Rosi...
eh kami belum pratikum pakai kelinci,...
(I can't wait to try it)