Ketika menunggu kuliah Anatomi Fisiologi Manusia oleh Bu Retno, saya menemukan artikel yang menajubkan ini diantara kertas-kertas bergilir lalu lalang di hadapanku. Kuketik ulang lembar fakta ini agar masyarakat Indonesia tahu betapa rokok sudah menjadi dewa di negara ini.
Rokok dan tembakau dianggap merupakan perdagangan andalan bagi pendapatan Negar. Sekitar 45 triliyun rupiah diterima Negara untuk pembangunan negeri ini, atau 10% dari pnedaptan negar. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika industri rokok dan tembakau mendapat ‘proteksi’ dari Negar. Sementara itu hampir semua Negara di dunia melakukan pengendalian yang ketat untuk industi ini di bawah payung Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Dalam pola epidemi rokok, Indonesia masuk dalam tahap kedua, di mana persentase penduduk laki-laki yang merokok tinggi dan persentase perempuan yang merokok masih rendah, namun jumlah perokok perempuan meningkat dengan tajam (Lopez,et. Al, 1994, Edwards, 2006). Penyakit terkait dengan rokok di Indonesia belum banyak terdeteksi karena baru akan meningkat 30-40 tahun yang akan datang. Dengan demikian tidak mengherankan jika kepentingan jangka pendek lebih didahulukan oleh para penggambil keputusan dibandingkan dengan dampak kerugian jangka panjang terhadapa kesehatan masyarakat Indonesia.
Lebih dari 50% kepla rumah tangga adalah perokok dan sebagian besar merokok di dalam rumah. Selain anak dan istri mendapat paparan asap rokok, ekonomi rumah tangga juga terkorbankan akibat kecanduan yang dialami kepla rumah tangga. Hasil wawancara di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Bogor pada sejumlah ibu dan suaminya merokok memperlihatkan bahwa penghasilan tambahan yang diperoleh suami justru digunakan untuk membeli rokok bukannya untuk menambah belanja keluarga.
Lembar fakta ini memperlihatkan ketrkaitan antar rokok, kemiskinan, kesehatan, dan gizi buruk yang akan menurunkan produktivitas bangsa Indonesia di masa yang akan datang.
SIAPA PEROKOK DI INDONESIA?
(data Riskesdas 2007)
· Laki-laki lebih banyak merokok dibandingkan permpuan (66% dan 5%), walaupun tren menunjukan peninggkatan yang pesat pada kelompok perempuan (2001:1% dan 2007:5%)
· Mereka yang tinggal di desa lebih banyak yang merokok dibandingkan yang dikota (69% 61%)
· Mereka yang berepndidikan rendah lebih banyak yang mjerokok dibandingkan dengan mereka yang berepndidikan tinggi (72% tidak tamat SD, dan 50% tamatan perguruan tinggi)
· Mereka yang miskin dan lebih banyak yang merokok dari pada yang kaya (68% dan 61%)
Laki-laki yang tinggal di desa, berpendidikan rendah dan miskin
lebih banyak menjadi perokok
BELANJA ROKO RUMAH TANGGA YANG MISKIN LEBIH TINGGI
DIBANDINGKAN RUMAH TANGGA YANG TIDAK MISKIN
Hasil studi di Sukabumi tahun 2006 menunjukan bahwa belanja rumah tangga untuk membeli rokok menempati peringkat tertinggi (13%). Rumah tangga miskin mengeluarkan biaya untuk merokok dua kali lebih besar dibandingkan rumah tangga yang tidak miskin. Belanja untuk rokok tersebut mencapai 20 kali lipat dibandingkan belanja untuk pendidikan.
Hasil ini juga menunjang penelitian lainnya yang menunjukan bahwa perokok mengeluarkan uang untuk membeli rokok jauh lebih besar daripada pengeluaran untuk kebutuhan makan sehari-hari seperti beras, sayuran, dan lauk-pauk telur, daging atau minyak goreng. (Barber, et.al. 2008, Block, S and Patrick Webb, 2009)
Studi lain di daerah kumuh dan penduduknya miskin di Jakarta Utara (2007) ditemukan bahwa belanja rokok mencapai Rp. 210.000,- perbulan. Angka ini jauh melebihi pengeluaran untuk kebutuhan pokok.
Belanja rokok yang besar akan menyebabkan permiskinan. Bila rumah tangga mau berhemat maka makanan bergizi bagi anggota rumah tangga dapat dibeli, terutama bagi rumah tangga yang memiliki balita. Meski pendidikan da kesehatan dapat diperoleh secar gratis, namun biaya lain seperti transpor, buku atau kebutuhan lain harus ditanggung oleh rumah tangga. Ironisnya, dana selalu menjadi alsan kendala utama, sementara belanja rokok yang sebetulnya menjadi beban rumah tangga tidak dirasakan sebagai beban. Penggarisan biaya berobat menyebabkan masyarakat lebih memiliki kemampuan untuk membeli rokok. Padahal, penyakit akibat merokok menyebabkan angaka keakitan meningkat dan pengeluaran untuk kesehatan juga meningkat. Akibatnya, pemerintah harus menyediakan dana yang lebih besar untuk pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin.
SIAPA KORBAN ROKOK?
· 69% rumah tangga tercatatat memiliki minimal satu orang yang meroko (Riskesdas 2007)
· 85% perokok berusia 10 tahun ke atas merokok di dalam rumah bersama dengan anggota keluarga lainnya (Riskesdas 2007)
· 94% ayah merokok di dalam rumah dan 79% merokok di dekat anaknya (Heather Wipfli et al, 2008)
Anak merupakan korban dari asap rokok. Bagaimana dampak asap rokok
terhadap gizi dan kesehatan anak mereka?
KEBIASAAN MEROKOK PADA AYAH MENINGKATKAN RISIKO INFEKSI
SALURAN NAFAS AKUT PADA ANAKNYA
Data menunjukan 97 juta orang terpapar asap roko, khususnya balita dan ayah perokok. (Lembaga Demografi FE UI). Berbagai penelitian di banyak negara memperlihatkan bahwa kebiasaan ayah merokok meningkatkan risiko terjadinya berbagai penyakit pada anak (Hofhuis, W, et al, 2003) infeksi saluran nafas akut (ISPA), gizi buruk dan kematian pada bayi dan anak (Semba, Richard D, et.al 2008). Hasil analisis data survei di Sumatara Selatan, Jambi, dan Papua tahun 2007 menunjukan hasil yang sama.
Pada survei dengan sampel yang cukup besar ini- sampel total di 3 provinsi sebanyak 5896 rumah tangga memperlihatkan 40% rumah tangga memiliki anak usia 1-10 tahunj. Di antara rumah tangga yang memiliki anak usia 1-10 tahun, 33% dari anak tersebut menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dalam 3 bulan sebelum survei. Analisis lebih lanjut menunjukan anak yang ayahnya merokok memiliki risiko untuk menderita ISPA 1,3 kali dari anak yang ayahnya tidak merokok. Perhitungan lebih lanjut menunjukan 23 % kasus ISPA pada anak yang ayahnya merokok terkait dengan kebiasaan merokok ayahnya tersebut. Dengan kata lain, jika ayah dari anak-anak ini tidak merokok, 23 persen kasu ISPA yang terjadi akan dapat dicegah.
KESIMPULAN
Peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia tanpa adanya peraturan pengendalian tembakau yang tepat, adalah suatu kemustahilan. Mengandalkan cukai rokok dan tembakau untuk pembangunan bangsa adalah ibarat membuat istana pasir di pantai. Hali ini dikarenakan kebanyakan perokok adalah mereka yang miskin. Mereka akan mengorbankan kesejahteraan keluarganya karena kecanduan yang dideritanya. Ayah dari keluarga miskin yang merokok akan mengurangi belanja makanan bergizi bagi anaknya dan sekaligus memaparkan asap rokok sehingga memudahkan mereka terkena penyakit infeksi saluran nafas atas. Semua ini pada akhirnya akan bermuara pada status gizi balitanya. Tanpa gizi yang baik, dan sering sakit-sakitan, balita akan sulit tumbuh dengan cerdas, sehingga mereka akan sulit lepas dari rantai kemiskinan.
REKOMENDASI:
1. Pemerintah dan DPR secepatnya mengesahkan RUU Pengendalian Tembakau yang merujuk pada FCTC dalam rangka melindungi masyarakat dari kecanduan yang diakibatkan rokok.
2. Pemerintah harus menjamin pelaksanaan UU kesehatan tahun 2009 pasal 113 tentang pengendalian tambakau, serta melindungi masyarakatnaya, terutama masyarakat miskin, dengan memberikan akses informasi kesehatan yang benar entang dampak kecanduan dari rokok dan bantuan untuk menghilangkan kecanduannya.
3. Perlunya mempertimbangkan aspek gizi buruk dan dampak penyakit akibat paparan asap rokok pada balita sebagai bagian dari kebijakan pengentasan kemiskinan.
Diketik ulang dari :
Damayanti, Rita. Rokok, Kemiskinan Dan Generasi yang Hilang: Kepentingan Jangka Panjang yang Terabaikan. Center for Health Research, University of Indonesia. 2010
Pada tulisan selanjutnya saya akan menjelaskan obat-obat yang digunakan dalam usaha menghilangkan kecanduan merokok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar