17 Juni 2010

Semua orang bisa bikin obat, nah...loh

Bismillah

Tahulkan tentang kasus Masran? engga tahu? ah payah mas cuma tahu kasus Ariel, Luna ama Cut Tari doang Wah..apa-apaan ni Tik..hehehe). Ituloh kasus perawat di daerah terpencil yang membuatsediaan obat ke pada pasien dimana hal tersebut melanggar UU Kefarmasian pasal 108(1) UU no 36 th 2009 di Indonesia, terus dia minta agar UU kefarmasian dikaji ulang biarsemua orang bisa bikin obat (nah loh???)
Tulisan ini gw copy dari Mbah Rezi yang ikut melihat jalannya persidangan...

Mbah Rezi," Rekan-rekan semua, melalui note ini saya akan beberkan beberapa kutipan yang saya dengar dari mahkamah konstitusi perkara penggugatan pasal 108(1) UU no 36 th 2009. Saya sempat merekam namun sayangnya kualitas rekaman tidak bagus sehingga tidak valid untuk diperdengarkan."


mohon dikaji dengan kepala dingin, karena walaupun ruangan ber-ac, beberapa kalimat yang dilontarkan sempat membuat hati saya panas. Tapi tetap kita sadari, kita harus bisa menguasai diri sendiri dan membuat output yang lebih baik daripada sekedar emosi. Oleh karena itu, motivasi saya adalah pemberitahuan kepada teman2 tentang apa yang saya dapat, minimal sebelum ringkasan sidang pleno ini disebarkan MK

Sesi sidang kali ini mendatangkan saksi ahli dan praktisi.

mohon maaf apabila sedikit tertukar karena saya tidak mencatat tepatnya siapa yang ngomong apa kec yang terakhir. Tapi Insya Allah benar

Kutipan-kutipan saksi praktisi dari serang:
Praktisi 1 (kepala puskesmas induk):
- Di serang terdapat 30 puskesmas dengan jumlah tenaga dokter 47 orang, apoteker 30 orang; puskesmas pembantu banyak dilaksanakan sehari-harinya oleh perawat dan bidan

- Pemda membuat perda (Per Pemda serang no 12/2003 dan 11/2008 tentang sistem pelaksanaan kesehatan kabupaten) dan membuat Skep pengutusan perawat bila tidak ada dokter pendamping untuk melayani titik-titik pelayanan medis, namun dengan sudah memberitahu dokter untuk melakukan pelayanan medis dasar

Praktisi 2 (kepala instalasi farmasi)
- Merasakan UU no 23 tahun 2003 dan 36 tahun 2009 lebih membatasi tentang penerapan teknis dan sistem pelaksanaan kesehatan dibanding sebelumnya

- Sebelum ada UU tersebut, penyelewengan obat (nitrazepam contohnya) hanya menjadi tipiring (tindak pidana ringan) - denda hanya 30 ribu; pelaku penyelewengan tidak pernah kapok

- Setelah ada UU tersebut, penyelewengan obat diatur dengan lebih tegas, tindak pidana yang dimuat UU tersebut cukup mengerikan dan membuat kapok para pelaku

- Antibiotik rawan penyelewengan, ampisilin bahkan sampai resistensi dan diganti sekarang dengan amoksisilin

- Tingginya indikasi penyelewengan pengobatan di daerah, terutama paradigma pasien yang "tidak disuntik maka belum diobati), sehingga perlu adanya peraturan yang tegas seperti diterapkan pada pasal 108 tersebut

- Semenjak 2008, semua instalansi puskesmas serang telah diisi dengan tenaga kefarmasian

Praktisi 3 (kepala puskesmas harian dan juga seorang perawat)

- Kondisinya 3.500 jiwa dengan jarak ke puskesmas induk sekitar 70 km dan hanya bisa dilalui oleh roda dua, tidak ada tenaga kedokteran atau apoteker

- Puskesmas yang dipimpin menjadi satu dengan rumah dinas, dan dibuat atas kewenangan kepala puskesmas melalui s.kep

- Sehari-hari membawa tas kit kuratif untuk melakukn pengobatan, namun dengan pelayanan medis yang sangat standar, bila diluar kewenangan akan mengacu ke RSUD / puskesmas induk

- obat yang dimiliki sesuai standar puskesmas dan TIDAK BERANi MEMBAWA obat di luar standar, dan tidak pernah BERINISIATIF MEMBAWA OBAT di luar standar

- mengakui pernah melakukan hal yang darurat seperti menjahit luka, karena perlu dikerjakan langsung

- terkait UU tersebut, tidak merasakan keberatan karena justru merasa terlindungi sebagai kepala puskesmas, apalagi semua dilakukan SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Praktisi 4 (Prof Azrul Anwar; anggota kehormatan PPNI)

- Pasal ini tidak jelas, karena obat itu luas sekali. perlu diperjelas pasal ini mengatur obat yang seperti apa, seharusnya digamblangkan, namun sampai membaca penjelasan tidak didapatkan

- Pasal ini membingungkan karena rancu dengan pasal 99 UU yang sama, pada pasal 99 dinyatakan masyarakat bebas mengembangkan pengobatan (tradisional), tapi mengapa pasal 108 malah membatasi
pengembangan distribusi pengobatan

- Farmasis dan dokter dulunya adalah satu, di Indonesia menggunakan rezim yang berusaha memisahkan keduanya

- Pengaturan distribusi obat ke masyarakat di Indonesia selama ini tidak efektif, karena dengan pasal 108 ini malah merugikan masyarakat

- Masyarakat selama ini perlu membayar lebih untuk sesuatu yang tidak pasti, apabila dispensing diserahkan ke dokter (dan bukan instalasi farmasi), maka masyarakat bisa mendapatkan harga sekitar 60% dari harga yang beredar sekarang dari apotik. Saya memiliki bukti valid perhitungan atas apa yang saya nyatakan.

- Industri kefarmasian banyak membuat kisruh. banyaknya industri tidak serta merta menyehatkan persaingan, justru berkembang permainan tidak sehat karena obat bukanlah produk yang bisa dikomersilkan (seperti mobil yang bisa diiklankan untuk memberi motivasi untuk memiliki). Obat adalah produk pasif yang hanya dibutuhkan pada saat tertentu saja

- Industri farmasi yang banyak tersebut akan merusak tatanan sistem dengan berbagai persaingan tidak sehat, seperti membayar dokter untuk meresepkan produknya; melakukan pendekatan yang tidak menguntungkan masyarakat. Tenaga kesehatan perlu mencari inti permasalahan yang salah selama ini yang membuat motivasi tenaga kesehatan untuk menolong masyarakat menjadi tergantikan oleh motivasi mengejar keuntungan sepihak

- Perlu dikaji lagi pasal 108 ini, atas dasar niat apa pasal ini dibentuk, untuk kepentingan masyarakat secara umumnya atau untuk suatu porsi tertentu, karena kembali ke saya bilang, masyarakat bisa diuntungkan dengan dispensing oleh dokter. Di singapura, malaysia dan jepang tidak seketat Indonesia dalam hal ini

- Apabila suatu orang ahli dalam hal tertentu, belum tentu dia terbebas dari salah. Pengalaman di organisasi saya (tingkat internasional) selama ini adalah mengembangkan tenaga kesehatan yang dibekali dasar untuk melayani masyarakat sudah cukup untuk daerah yang sukar terjangkau.

- Perlunya meningkatkan kewenangan mantri karena sebenarnya sama saja, beliau menguasai materi yang diperlukan dalam tindakan medis dasar. Apalagi di luar negeri tidak terlalu membedakan mantri, perawat atau bidan. Dan perlunya mempintarkan perawat atau mantri atau bidan ataupun dukun beranak untuk melakukan tindakan medis karena tenaga kesehatan belum merata.


demikian sekelumit resume saya, mungkin belum lengkap apalagi beberapa saksi suaranya kurang jelas karena gugup. Namun kiranya bisa menjadi dasar bacaan bagi kita smua untuk mengkaji bersama. kembali saya himbau untuk menyikapi dengan kepala dingin dan mencerminkan intelejensi kita.

Sidang dipending untuk menunggu saksi dari pemerintah yang akan didaftarkan paling lambat hari Jumat

2 komentar: